Kalau Andrea Hirata menyebut ayahnya sebagai ayah juara satu seluruh dunia. Maka akupun boleh menyebut ayahku ayah terhebat diseluruh dunia. Ya, ayahku. Ayahku bukan seorang jutawan, bukan pula seorang ilmuwan, ataupun seorang bangsawan. Ayahku seorang yang penuh dengan kasih sayang. Ia bukan presiden, mentri, dokter, guru atau perangkat pemerintahan. Tidak!! bukan semua itu. Beliau hanya ayahku. Ayah yang paling hebat yang paling aku banggakan.
Sosoknya bukan seperti ayah kebanyakan yang pendiam. Ayahku tipe seorang yang cerewet. Yang tak pernah bisa berhenti kalau sudah urusan mengomentari atau meneramahi aku dan kedua kakakku.Bahkan kata-katanya cenderung di ulang seperti kaset radio yang terus di rewind . Tapi, Tak pernah sedikitpun ia memukul bahkan mencubit pun tak pernah ia lakukan terhadapa anak-anaknya. Karena sebenarnya kata-kata yang keluar dari mulutnya lah yang akan lebih menyakitkan daripada sebuah pukulan ataupun cubitan. Bukan karena ia mengeluarkan kata-kata kasar. Haram bagi ayahku untuk mengucap kata-kata yang kasar. Namun kata-katanya yang tepat sasaran seolah menyadarkan kita akan kesalahan. Marahnya hanya sebuah diam. Membuat aku lebih memilih untuk dipukul berkali-kali daripada menghadapi diamnya.
Semua yang di ucapkan adalah sesuatu kebenaran yang nyata. Tak berani aku melawan semua kata-katanya. Karena semua petuah yang keluar dari mulutnya merupakan kebaikan yang akan menuntunku. Itu sering kubuktikan sendiri dan kulihat pula pada kakak-kakakku. Aku memiliki seorang kakak laki-laki(abang) yang sering sekali tak mendengarkan apa yang di nasihati. Ia melakukan semuanya sendiri tanpa peduli apa yang telah ayah katakan. Tapi, ujung-ujungnya semua yang ia lakukan tak mendapat hasil. Bahkan kemudharatan lah yang ada. Itu yang aku sadari pertama kali. Dan sering kulihat sendiri. Hingga akupun berjanji akan terus mengikuti apa yang beliau ingini.
Dan firasatnya kuat terhadapku. Itu yang membuat aku yakin mengikuti semua kata-katanya. Pernah suatu ketika aku mengikuti tes untuk masuk ke perguruan tinggi negri 2 kali. Pada saat hasil tes yang pertama ayah bilang kepadaku tak apa ya kalau gak diterima. Kan masih ada tes yang lain. Aku hanya mengiyakan. Lalu, ayahku berinisiatif langsung memasukkan ku ke dalam universitas swasta yang sama dengan kedua kakakku dengan jurusan yang bisa ku pilih sendiri. Akhirnya terdaftarlah aku dan membayar langsung uang kuliah. Saat sudah membayar hasil test kedua diumumkan keesokan harinya. Tapi sudah tidak aku hiraukan, karena toh aku sudah membayar uang kuliah. Pagi-pagi sekali saat aku bangun tidur ayah menghampiri dan berkata coba beli koran lihat hasil test yang kemarin, sepertinya kamu lolos. Dan benar saja tidak lama kemudian teman mengirim sms yang isinya aku diterima di salah satu perguruan tinggi negri. Dari koranpun aku lihat namaku terpampang di perguruan tinggi negri tersebut. Ayahku lalu menjatuhkan pilihannya padaku untuk memilih. Aku tahu Beliau sudah tak memegang uang. Karena seluruh uangnya sudah dibayarkan untuk kuliahku. Karena aku bukan dari keluarga yang mampu maka aku memilih masuk universitas swasta itu. Karena jika aku memilih perguruan negri itu, maka uang yang sudah dibayarkan di universitas swasta tidak dapat dikembaikan.
Ayahku orang yang sangat baik bahkan dermawan. Tak sungkan ia mengulurkan tangan membantu yang membutuhkan pertolongan. Sehingga sering sekali ayah diminta menyumbang untuk urusan-urusan sosial. Pernah suatu waktu saat ia menjadi supir angkutan umum. Saat itu mendapat penumpang amat susahnya. Kebetulan, angkot yang dikendarai ayahku mendapat penumpang walau tidak penuh. Di tengah jalan, naiklah tiga orang laki-laki. Dari gelagatnya ayah melihat ia adalah pencuri. Ia melihat pencuri ingin mengambil uang seorang ibu yang sedang membawa anaknya. Sontak saja ayahku lalu menghentikan mobilnya di kiri jalan. Dan bilang pada penumpang kalau angkotnya mogok dan disuruh cari angkot lain saja. Dan semua penumpang pun turun. Setelah melihat ketiga orang tadi pergi tanpa mencuri sepeserpun. Berkatalah ia pada ibu yang membawa anak tadi yang kebetulan belum pergi mencari angkot baru. Untunglah ayahku menggagalkan pencurian itu. Karena uang yang dibawa ibu itu merupakan uang untuk berobat anaknya yang sedang sakit.
Aku percaya kata hadis yang menyebutkan jika amal atau sedekah dapat menghindari diri kita dari bencana. Karena itu terbukti dari ayahku. Sudah aku ceritakan tadi bahwa ayahku begitu derma. Nah sekarang aku ceritakan suatu kejadian yang menurutku tak masuk di akal. Sehari menjelang idul fitri tentu saja seperti kebanyakan muslim lainnya di rumah juga sibuk memasak ketupat, sayur dan opor. Kebetulan kompor berada di lantai agar lebih mudah mengangkat panci yang besar. Saat itu di atas kompor berisi air mendidih untuk merebus daging. Entah kesenggol atau apa panci di atas kompor tumpah dan airnya membanjiri kaki ayahku.Beliau kaget karena air yang banyak dan sedang bergolak mendidih itu menimpa kakinya tapi beliau juga tak beranjak. Umumnya jika kita terkena air, maka kulit akan melepuh atau setidaknya berasa panas. Namun, ayahku seperti tak merasakan apa-apa. Beliau Bahkan Beliau mengatakan kalau berasa seperti disiram air biasa. Subhanallah. Berkali-kali Beliau mengucap syukur. Ini sungguh tak masuk di logika. Tapi aku pikir inilah kekuatan amal.
Ayahku orang yang serba bisa. Mengapa bisa ku katakan seperti itu? Setiap ada alat elektronik di rumah yang rusak maka tak jarang beliau yang memperbaikinya hingga bagus lagi. Dari mulai alat-alat listrik, alat elektronik, alat masak, hingga mainan anak-anak. Dan tak jarang saudara-saudara meminta bantuan terhadap ayahku. Tentu saja tanpa ada imbalan apapun. Sampai ada barang yang bagiku mustahil untuk diperbaiki. Tapi beliau selalu berkata “Orang aja udah bisa bikin pesawat, masa benerin gini doang gak bisa” itu yang ku dengar setiap kali aku bertanya. Dan ternyata berhasil. Beliau memang hebat. Ayahku juga tak sungkan untuk melakukan pekerjaan rumah seperti membersihkan rumah, mencuci baju piring hingga memasak. Itu kulihat saat aku masih kecil. Sungguh lelaki hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar